KUPINANG
ENGKAU DALAM MIMPI
“David,
kita harus mensikapi persoalan ini secara dewasa dong, kita jangan
mengedepankan emosi, berusahalah berfikir positif dan lapang dada!” kata sepupuku Mujahid Helmi, berupaya
menjernihkan suasana. Kata-katanya kuanggap angin lalu, aku diam seribu bahasa,
kututup rapat mulutku, sambil menggigit bibir bagian bawah. Kedua tanganku
meraba kening, aku menundukan kepala. Dengan tatapan kosong memandang kedua
ujung jemari kakiku. Pikiranku terbang entah kemana. Aku tidak tahu apa yang
harus kulakukan. Kemudian, tidak berapa lama sepupuku kembali menasehatiku :
“David,
yakinlah, mungkin ini yang terbaik bagi kita. Oke lah kita punya rencana,
tapi Allah juga punya rencana untuk kita!”
“Udahlah
mi, aku kagak butuh khutbahmu!” balasku dengan emosi. Detak
jantungku semakin kencang. Terasa tanganku bergetar, aku marah kepadanya sebab
aku kesal, akibat dari kelalaiannya, tiket pesawatku hilang, sehingga nasib
acara khitbahku menjadi tidak jelas. Hatiku juga mengutuk orang Mesir yang
mencuri tiket pesawatku saat sepupuku mengambil wudlu didalam mesjid.
Aku
lihat sepupuku menjadi diam, aku dan dia terhanyut pada arus pikiran
masing-masing.
“Kriiiiingg
… !” tiba-tiba suara
telepon memecahkan suasana. Aku tidak beranjak untuk mengangkatnya, beberapa
kali telepon itu berbunyi, akhirnya sepupuku melangkahkan kaki menuju tempat
telepon.
“Wa’alaikum
salam warahmatullahi wabarakatuh, betul, ya, ada!” terdengar ditelingaku dia menjawab lawan bicaranya.
Setelah itu Mujahid menoleh kepadaku sambil berseru:
“David,
nih ada telepon untukmu!”
“Bilang
saya tidak ada, saya tidak mau diganggu!” jawabku dengan
cuek dan ketus.
“Tapi
ini penting lho, dari orang tuamu di Indonesia!”
Mendengar
orang tuaku ia sebut-sebut, aku langsung bangkit. Kuterima gagang telepon yang
di sodorkannya kepadaku, lalu aku berkata:
“Assalamu’alaikum,
ini bapak ya, bagaimana khabar keluarga di Bandung?”
Ada
sedikit lega dihatiku saat orang tuaku mengatakan bahwa mereka sehat wal afiah.
Setelah itu diujung telepon sana orang tuaku menjelaskan kepadaku:
“David,
Alhamdulillah, persiapan untuk acara khitbahmu sudah beres. Insya Allah
waktunya lima hari lagi dan tempatnya di Hotel Savoi Homann!”
Aku
seperti di sambar petir disiang bolong. Apa tidak salah orang tuaku melakukan
hal itu. Hatiku kecilku menolak. Ajaran Islam tidak mengharuskan seperti itu,
kecuali walimatul Ursy atau pernikahan. Ini sebuah pemubadziran dan terkesan
mencari prestise. Aku tercenung, lidahku terasa kelu untuk mengatakan ketidak
setujuan terhadap orang tua. Satu sisi aku harus mencegah acara seperti itu,
disisi lain aku tidak ingin orang tuaku tersinggung dan kecewa. Aku terjebak
dalam jurang simalakama. Terlintas dalam benakku tiket pesawatku yang hilang.
Dengan hati-hati aku berkata :
“Bapak,
sebelumnya David mohon maaf, kalau bisa Bapak membatalkan acara khitbah yang
dihotel itu, dikarenakan tiket pesawatku untuk keberangkatan dua hari yang akan
datang hilang, dan aku mendapatkan tiket pengganti dengan tanggal
keberangkatannya bertepatan dengan hari berlangsungnya acara khitbah itu!”
Aku
dapat menangkap kekecewaan bapakku, lewat desahan nafasnya ditelepon. Beberapa
menit kemudian aku berusaha meyakinkan agar usulan pembatalan acara itu beliau
terima. Akhirnya orang tuaku mengabulkannya juga. Kuletakkan gagang telepon,
dan akupun duduk kembali.
* * *
Selesai
mandi dan sarapan pagi aku membaca buku muqarrar sambil menikmati kaset nasyid
oleh-oleh mahasiswa baru yang dari Indonesia. Lagu “Mata Hati” yang
disenandungkan oleh group Hijjaz sedikit menyejukkan jiwaku. Angin musim dingin
yang menyelinap lewat jendela kamarku, membuatku menggigil. Lembar demi lembar
muqarrar ini aku tarhiz. Tiba-tiba teman-teman kamar sebelahku berdatangan
mereka bercanda kepadaku padahal saat ini aku butuh akan ketenangan.
“Wah,
lagi ngapain nih? Baca atau ngelamun? ‘Ntar juga ngalaman?” sapa temanku, Edi
Mulyadi orang asli sunda. Aku pura-pura tidak mendengarnya. Selanjutnya Abdul
menambah,
“David,
gimana proyek khitbahmu, jadi ngga?”
“Iyya,
kalau dibiarkan lama-lama nanti ada yang nyerobot lho!” Seloroh temanku Okki yang asli Jakarta ikut
nimbrung. Lagi-lagi aku tidak bergeming, aku terus membaca. Lama-kelamaan aku
menjadi pusing juga dengan gurauan mereka. Aku takut diriku menjadi emosi
seperti kepada sepupuku kemarin. Aku harus cepat menghindar dari mereka, aku
harus keluar rumah. Hanya saja aku bingung tujuannya kemana. Dalam kebingungan
itu, aku ingat rencana Ridwan bahwa hari ini ada acara rekreasi ke Qanathir.
Tanpa
ba-bi-bu lagi, aku keluar kamar untuk menuju rumah Ridwan, dan kulihat
teman-temanku heran atas kepergianku.
* * *
Ba’da
shubuh, sebagaimana biasanya aku membaca Al Qur’an. Tapi belum juga habis satu
lembar kubaca, mataku sudah terasa berat sekali. Dan satu-satunya obat hanyalah
tidur. Ternyata istirahatku tadi malam belum cukup membayar rasa capekku
setelah pulang rekreasi dari Qanathir kemarin.
Dasar
godaan syetan, membaca Al Qur’an ngantuk. Tapi setelah dibaringkan, bukannya
langsung tidur tapi aku malah teringat kejadian di Qanathir. Maksud hatiku
berekreasi ini untuk mencari ketenangan diri, tapi ternyata hanya kekesalan
yang aku dapatkan. Aku kesal melihat kehidupan remaja-remaja Mesir. Mereka
sudah terlalu bebas dalam bergaul antar lawan jenis. Semakin tua peradaban yang
mereka miliki, tidak menjadikan mereka lebih menghargai nilai-nilai akan
kehormatan seorang manusia. Justru sedikit demi sedikit mereka mulai berkiblat
ke Barat, aku terus merenung, sehingga tidak ingat apa-apa lagi.
* * *
Dalam
sebuah ruangan, tepatnya ruang tamu, aku beserta kedua orang tuaku duduk
berhadapan dengan keluarga teman bapakku ketika dulu sama-sama berjuang di
KAPPI. Teman bapakku itu tidak lain adalah calon mertuaku. Kehadiran kami
adalah untuk mengkhitbah putrinya. Setelah beberapa saat berbasa-basi dan bernostalgia
bapakku membuka pembicaraan kepada calon mertuaku:
“Saudaraku,
Akhdiat, pepatah telah mengatakan,sudah dipaku diikat pula, artinya selama ini
kita telah dipaku dalam jalan perjuangan yang sama. Agar supaya ukhuwwah
diantara kita menjadi lebih kokoh, maka alangkah baiknya kalau kita diikat
pula. Dan sebagai tali talinya adalah hubungan besan diantara kita, oleh karena
itu aku berniat mengkhitbah putrimu, Nurul Sakinah, untuk mendampingi hidup
putraku, bagaimana?”
Suasana
menjadi hening, aku lihat Bapak Akhdiat, calon mertuaku itu melirik ke istrinya
sambil tersenyum. Aku tak sabar mendengar jawabannya.
“Ibarat
bumi menerima air hujan, Alhamdulillah dengan senang hati kami menerima maksud
saudara!” Sebuah jawaban
yang singkat terluncur dari mulut Bapak Akhdiat. Ada rasa gembira terjelma dalam sanubariku saat
lamaranku diterima.
Setelah
itu orang tuaku bersama dengan calon mertuaku membicarakan hari pernikahanku.
Sedangkan aku hanya menjadi pendengar yang budiman. Selain kedua calon mertuaku
didepanku duduk calon istriku. Wajahnya memancarkan ketenangan sesuai dengan
nama yang ia miliki, Nurul Sakinah. Ia seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran Bandung yang sekarang sedang menyusun skripsinya.
Mataku meliriknya, dan hatiku pun bergetar kala memandang wajahnya. Hidungnya
mancung, mata beningnya menyimpan berjuta pesona, alisnya laksana iringan
semut, bibirnya yang merah merekah bersih tidak terpoles oleh lipstik, dagunya
ibarat lebah bergantung, kulitnya halus laksana sutra, dan kecantikan itu
semakin sempurna setelah dibungkus jilbab merah jambu yang dipadukan dengan
jubah ungu yang ia kenakan. Dalam hatiku berkata, ”Seandainya calon istriku
ini memakai perhiasan dari kristal asli dari Asfour Mesir, pasti kecantikannya
akan mengalahkan ratu kecantikan sedunia tahun ini, Larra Dutta yang asli
India!”
Lamunanku
buyar tatkala orang tuaku bertanya kapan aku kembali ke Mesir, karena aku masih
harus menyelesaikan tiga mata kuliah yang tersisa.
Belum
juga aku jawab, sekonyong-konyong aku merasa ada tangan yang menggoncangkan
tubuhku. Ternyata aku bermimpi, aku mengocek-ngocek mataku. Samar-samar kulihat
sepupuku berdiri didepanku dengan membawa koran Al Ahram.
“David,
lihat nih berita, pesawat KU 414 yang seharusnya kamu tumpangi kemarin, meledak
diperairan Malaysia!”
Mujahid memberitahukan.
“Hah,
yang benar aja!”
“Benar,
lihat ini!”
Aku
segera meraih koran itu dan langsung membaca berita yang ditunjukkan sepupuku.
Kueja huruf demi huruf, sampai akhirnya berita itu rampung kubaca. Bersamaan
dengan itu, aku merasa sangat malu kepada Allah SWT mengingat sikapku dua hari
yang lalu, aku seolah-olah tidak meyakini akan taqdir Allah SWT. Ternyata empat
tahun belum cukup, menjadi anak panah Azhary yang siap mengarungi samudra
ujian.
Juga
aku merasa bersalah dan berdosa atas sikapku terhadap sepupuku. Aku langsung
memeluknya. Tak terasa butiran air mata mengalir dipipiku.
“Mujahid
nasehatmu benar, ma’afin aku yach, aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi
bila tiket pesawatku tidak hilang!”.
Ia
menjawabku dengan sebuah senyuman, akupun memaksakan diri untuk tersenyum. Dan
aku benar-benar tersenyum, ingat akan mimpiku yang terputus. Kemudian ku
berbisik dalam hatiku: “Kupinang engkau dalam mimpi!“.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar