SEJARAH BERDIRINYA FBR
FORUM
BETAWI REMPUG (FBR) merupakan wadah perjuangan masyarakat Betawi untuk
memperjuangkan hak-haknya yang selama ini tertindas, baik secara
struktural maupun cultural. Kalau diibaratkan perempuan yang sedang
hamil, maka FBR baru akan memasuki fase melahirkan. Karena FBR baru
didirikan hari Minggu legi, tanggal 8 Rabiul Tsani 1422 H bertepatan
dengan 29 Juli 2001 M di Pondok Pesantren Ziyadatul Mubtadi’ien, Jl.
Raya Penggilingan No.100 Pedaengan Cakung Jakarta Timur. Para penggagas
dan pendiri FBR adalah tokoh-tokoh muda Betawi yang merasa prihatin dan
peduli dengan nasib masyarakat dan budaya tradisional Betawi yang selama
ini terpinggirkan dan dimasabodohkan oleh arogansi Kota Jakarta yang
berdalih Ibu Kota Negara dalam rangka menyongsong diberlakukannya
Otonomi Daerah.
Masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Kota
Jakarta seharusnya mendapatkan prioritas utama dalam bidang usaha,
perdagangan dan perindustrian, serta pelestarian seni budayanya. Dalam
kenyataannya, masyarakat Betawi dari hari ke hari semakin mengalami
kesulitan dalam mendapatkan mata pencaharian yang halal dan seni budaya
Betawi berangsur-angsur mulai dilupakan, termasuk oleh masyaratnya
sendiri. Kehidupan sosial masyarakatnya yang santun dan agamis
tercabik-cabik oleh budaya metropolitan yang individualis dan
materialistis, sehingga banyak di antara generasi muda Betawi yang
mengalami pengkaburan Iman dan sulit memisahkan secara tegas antara
halal dan haram. Pada gilirannya mereka mulai mengenal dan mengakrabi
minuman keras, narkotika dan zat adiktif lainnya. Gaya hidup mereka yang
semakin konsumtif tidak dibarengi dengan etos kerja yang kuat, sehingga
menimbulkan kerawanan sosial.
Sementara generasi muda lainnya
yang masih memiliki etos kerja dan pendidikan yang layak berusaha
mendapatkan pekerjaan di perusahaan-perusahaan swasta atau instansi
pemerintah, namun sering kali menemukan kekecewaan-kekecewaan. Karena
budaya KKN masih sedemikian kentalnya dan opini yang selama ini
terbentuk bahwa : “ Betawi malas kerja dan tidak berpendidikan ” masih
mengungkung kesadaran para pengusaha dan pengambil kebijakan. Selain itu
banyak tanah-tanah adat milik masyarakat Betawi yang dirampas oleh
sebagian pendatang tanpa pernah ada penyelesaian yang pasti dari aparat
penegak hukum.
Tambahan lagi, dalam berbagai kasus kriminal yang
dilakukan oleh masyarakat pendatang seperti perampokan, pencurian dan
pembunuhan terhadap masyarakat Betawi, sering mengalami jalan buntu
meski sebenarnya pelakunya sudah diketahui, namun tidak lama kemudian ia
dapat bebas kembali. Lebih jauh lagi, partai-partai politik hanya
pandai mengumbar bualan untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat
Betawi guna mendapatkan suara pada setiap pemilu, tanpa pernah menindak
lanjuti lebih jauh. Sementara LSM-LSM yang ada tidak pernah
memperdulikan nasib masyarakat Betawi yang tertindas.
Berangkat
dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka beberapa tokoh muda
Betawi menggagas dibentuknya suatu wadah yang menampung dan
memperjuangkan aspirasi masyarakat Betawi, berazaskan Islam serta
berlandaskan Al-quran, Assunnah, Pancasila dan UUD 1945 yang kemudian
dikenal dengan nama : “ FORUM BETAWI REMPUG ” yang disingkat dengan FBR
MEMPERKENALKAN FORUM BETAWI REMPUG
FORUM
BETAWI REMPUG (FBR) merupakan wadah perjuangan masyarakat Betawi untuk
memperjuangkan hak-haknya yang selama ini tertindas, baik secara
struktural maupun cultural. Kalau diibaratkan perempuan yang sedang
hamil, maka FBR baru akan memasuki fase melahirkan. Karena FBR baru
didirikan hari Minggu legi, tanggal 8 Rabiul Tsani 1422 H bertepatan
dengan 29 Juli 2001 M di Pondok Pesantren Ziyadatul Mubtadi’ien, Jl.
Raya Penggilingan No.100 Pedaengan Cakung Jakarta Timur. Para penggagas
dan pendiri FBR adalah tokoh-tokoh muda Betawi yang merasa prihatin dan
peduli dengan nasib masyarakat dan budaya tradisional Betawi yang selama
ini terpinggirkan dan dimasabodohkan oleh arogansi Kota Jakarta yang
berdalih Ibu Kota Negara dalam rangka menyongsong diberlakukannya
Otonomi Daerah.
Masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Kota
Jakarta seharusnya mendapatkan prioritas utama dalam bidang usaha,
perdagangan dan perindustrian, serta pelestarian seni budayanya. Dalam
kenyataannya, masyarakat Betawi dari hari ke hari semakin mengalami
kesulitan dalam mendapatkan mata pencaharian yang halal dan seni budaya
Betawi berangsur-angsur mulai dilupakan, termasuk oleh masyaratnya
sendiri. Kehidupan sosial masyarakatnya yang santun dan agamis
tercabik-cabik oleh budaya metropolitan yang individualis dan
materialistis, sehingga banyak di antara generasi muda Betawi yang
mengalami pengkaburan Iman dan sulit memisahkan secara tegas antara
halal dan haram. Pada gilirannya mereka mulai mengenal dan mengakrabi
minuman keras, narkotika dan zat adiktif lainnya. Gaya hidup mereka yang
semakin konsumtif tidak dibarengi dengan etos kerja yang kuat, sehingga
menimbulkan kerawanan sosial.
Sementara generasi muda lainnya
yang masih memiliki etos kerja dan pendidikan yang layak berusaha
mendapatkan pekerjaan di perusahaan-perusahaan swasta atau instansi
pemerintah, namun sering kali menemukan kekecewaan-kekecewaan. Karena
budaya KKN masih sedemikian kentalnya dan opini yang selama ini
terbentuk bahwa : “ Betawi malas kerja dan tidak berpendidikan ” masih
mengungkung kesadaran para pengusaha dan pengambil kebijakan. Selain itu
banyak tanah-tanah adat milik masyarakat Betawi yang dirampas oleh
sebagian pendatang tanpa pernah ada penyelesaian yang pasti dari aparat
penegak hukum.
Tambahan lagi, dalam berbagai kasus kriminal yang
dilakukan oleh masyarakat pendatang seperti perampokan, pencurian dan
pembunuhan terhadap masyarakat Betawi, sering mengalami jalan buntu
meski sebenarnya pelakunya sudah diketahui, namun tidak lama kemudian ia
dapat bebas kembali. Lebih jauh lagi, partai-partai politik hanya
pandai mengumbar bualan untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat
Betawi guna mendapatkan suara pada setiap pemilu, tanpa pernah menindak
lanjuti lebih jauh. Sementara LSM-LSM yang ada tidak pernah
memperdulikan nasib masyarakat Betawi yang tertindas.
Berangkat
dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka beberapa tokoh muda
Betawi menggagas dibentuknya suatu wadah yang menampung dan
memperjuangkan aspirasi masyarakat Betawi, berazaskan Islam serta
berlandaskan Al-quran, Assunnah, Pancasila dan UUD 1945 yang kemudian
dikenal dengan nama : “ FORUM BETAWI REMPUG ” yang disingkat dengan FBR